Minggu, 03 April 2016

Jembatan Ampera Palembang

Jembatan Ampera


Nama resmi Jembatan Ampera
Mengangkut 4 lajur
Melintasi Sungai Musi
Daerah Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan
Panjang total 1,117 metre (3,665 ft)
Lebar 22 metre (72 ft)
Tinggi 63 metre (207 ft)
Rentang terpanjang 75 metre (246 ft)
Jumlah rentangan 1 (jembatan utama)
1 (keseluruhan)


Jembatan Ampera adalah sebuah jembatan di Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Jembatan Ampera, yang telah menjadi semacam lambang kota, terletak di tengah-tengah kota Palembang, menghubungkan daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi.

Panjang : 1.117 m[butuh rujukan] (bagian tengah 71,90 m)
Lebar : 22 m
Tinggi : 11.5 m dari permukaan air
Tinggi Menara : 63 m dari permukaan tanah
Jarak antara menara : 75 m
Berat : 944 ton

Sejarah


Pemandangan Jembatan Ampera di waktu malam
Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang ”Seberang Ulu dan Seberang Ilir” dengan jembatan, sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi.
Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan kala itu, disebut Jembatan Musi dengan merujuk na-ma Sungai Musi yang dilintasinya, pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956. Usulan ini sebetulnya tergolong nekat sebab anggaran yang ada di Kota Palembang yang akan dijadikan modal awal hanya sekitar Rp 30.000,00. Pada tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, Walikota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu.
Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00).
Pembangunan jembatan ini dimulai pada bulan April 1962, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.[1]
Pada awalnya, jembatan ini, dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.[2]

Pemandangan dari menara (tower) Jembatan Ampera.
Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara.[3] Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).[4]
Sekitar tahun 2002, ada wacana untuk mengembalikan nama Bung Karno sebagai nama Jembatan Ampera ini. Tapi usulan ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan sebagian masyarakat.[1]

Keistimewaan

Pada awalnya, bagian tengah dan bagian belakang dan bagian depan badan jembatan ini bisa diangkat ke atas agar tiang kapal yang lewat dibawahnya tidak tersangkut badan jembatan. Bagian tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Kecepatan pengangkatannya sekitar 10 meter per menit dengan total waktu yang diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan selama 30 menit.
Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah Jembatan Ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai.[4]
Sejak tahun 1970, aktivitas turun naik bagian tengah jembatan ini sudah tidak dilakukan lagi. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini dianggap mengganggu arus lalu lintas di atasnya.
Pada tahun 1990, kedua bandul pemberat di menara jembatan ini diturunkan untuk menghindari jatuhnya kedua beban pemberat ini

sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Jembatan_Ampera

5 Fakta Tersembunyi di Balik Keunikan Sungai Musi dan Jembatan Ampera

6 Fakta Tersembunyi di Balik Keunikan Sungai Musi dan Jembatan Ampera
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Suasana pengujung senja di Jembatan Ampera, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (7/3/2017). 
Kenyataannya, di Sungai Musi terdapat 2 pulau, Yaitu Kembaro (Kemaro) dan Kerto.

1. Palembang juga disebut dengan kota dari 20 pulau atau De Stad Der Twintig Eilanded (The City Of 20 Island).
Dahulu, terdapat 108 sungai yang membelah kota Palembang dengan lembahnya yang berawa-rawa sehingga tampak seperti puluhan pulau kecil yang tersebar dan mengelilingi palembang
Sungai Musi (SRIPOKU.COM/WELLY HADINATA)
Pulau Kemaro di Sungai Musi. (SRIPOKU.COM/WELLY HADINATA) 
2. Palembang juga memiliki julukan yang lebih eksotik, yaitu Venezia dari timur.
Begitu banyak sungai di kota palembang sehingga bangsa eropa (Belanda khususnya) memberi julukan kepada Palembang seperti sebuah kota di Italia.
Tugu Belido yang sudah dinanti-nantikan warga Kota Palembang, kini sudah berdiri di pinggir Sungai Musi, Benteng Kuto Besak (BKB), Rabu (2/7/2017). Sejumlah pekerja terlihat merapikan badan belido yang terbuat dari tembaga tersebut. (SRIPOKU.COM/SYAHRUL HIDAYAT)
Tugu Belido yang sudah dinanti-nantikan warga Kota Palembang, kini sudah berdiri di pinggir Sungai Musi, Benteng Kuto Besak (BKB), Rabu (2/7/2017). Sejumlah pekerja terlihat merapikan badan belido yang terbuat dari tembaga tersebut. (SRIPOKU.COM/SYAHRUL HIDAYAT) 
3. Pada awalnya jembatan ampera dinamakan Jembatan Bung Karno.
Menurut sejarawan, Djohan Hanafiah, pemberian nama ini sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama tersebut atas kesungguhannya untuk memperjuangkan keinginan warga Palembang untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.
Jembatan Ampera ini mulai dibangun dari tahun 1962 dan rampung pada tahun 1965.
Salah satu rumah makan terapung yang berjejer di pinggiran Sungai Musi samping Jembatan Ampera Palembang, Selasa (21/2/2017). (SRIPOKU.COM/ODI ARIA SAPUTRA)
Salah satu rumah makan terapung yang berjejer di pinggiran Sungai Musi samping Jembatan Ampera Palembang,
4. struktur Jembatan Ampera memiliki panjang 117 m dengan bagian tengah jembatan sepanjang 71,90m persis di atas Sungai Musi, lebar 22 m, tinggi 11,5 m dari permukaan air, tinggi menara 63 m dari permukaan tanah, jarak antara menara 75m dan berat 944 ton.
Hari ketiga lebaran Idul Fitri 1437, arus lalulintas di Jembatan Ampera Palembang sangat padat dan cenderung macet, Jumat (8/7/2016). (SRIPOKU.COM/WELLY HADINATA)
Hari ketiga lebaran Idul Fitri 1437, arus lalulintas di Jembatan Ampera Palembang sangat padat dan cenderung macet
5. Biaya yang di habiskan pada awal pembangunan Jembatan Ampera adalah 4.500.000 dolar AS (kurs saat itu 1 dollar = Rp200).
Dana ini didapat dari hasil rampasan perang saat Jepang mudur dari Indonesia pada Perang Dunia II.
Namun, arsitek yang membuat rancangan ini adalah seorang warga negara Jepang.
Jembatan Ampera. (SRIPOKU.COM/ZAINI)
Jembatan Ampera
  sumber : http://bangka.tribunnews.com/2017/08/04/5-fakta-tersembunyi-di-balik-keunikan-sungai-musi-dan-jembatan-ampera

Tidak ada komentar:

Posting Komentar